Memahami Hak-Hak Tersangka dan Saksi dalam Hukum Pidana
Sumber gambar : hariansib.com
Belakangan
ini Indonesia dikejutkan suatu kejahatan yang terjadi di tengah masyarakat
telah menimbulkan keresahan yang tidak bisa di bendung lagi. Seperti contoh
kasus pidana umum yaitu pencurian, apabila seseorang melakukan kejahatan
tersebut maka bisa jadi masyarakat akan melakukan tindakan berupa menghakimi
sepihak pelaku kejahatan bisa dalam bentuk pemukulan, penganiayaan dsb. Bahkan
belakangan ini telah terjadi kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum kepada saksi. Padahal kita pahami bahwa dalam hukum pidana ada yang
dinamakan Asas Praduga Tak Bersalah yaitu asas di mana seseorang dianggap tidak bersalah hingga
pengadilan menyatakanya bersalah. Maka hal ini perlu adanya pemahaman
bahwa setiap pelaku kejahatan itu memiliki hak yang harus dilindungi, bahkan
apabila pelaku telah berstatus menjadi tersangka.
Hak dari tersangka pidana untuk mendapatkan pembelaan hukum merupakan suatu hak fundamental yang dijamin oleh hukum dan negara kepada tersangka dari suatu tindak pidana untuk mendapat pembelaan hukum dalam konteks hak-haknya terlindungi. Salah satunya adalah mendapatkan pembelaan hukum dari seseorang yang telah diatur oleh undang-undang. Dan hal ini berlaku kepada seluruh proses hukum pidana, sehingga tersangka pidana tersebut tidak dirugikan haknya dalam proses hukum tersebut dan dapat menjalankan proses hukumnya secara yang tidak merugikan dirinya sehingga tercapai suatu ketentuan hukum berkeadilan bagi dirinya sendiri, bagi korban kejahatan, maupun bagi seluruh masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini biasanya tersangka bisa mendapatkan pembelaan dari pemerintah maupun yang berprofesi advokat yang menawarkan atau menyediakan bantuan hukum secara Cuma-cuma terhadap tersangka pidana tertentu.
Selain mendapatkan hak
pembelaan, tersangka juga berhak untuk diam dan tidak dilakukan kriminalisasi
terhadap dirinya. Dilapangan bisa kita lihat betapa banyak tersangka
dikriminalisasi terhadap dirinya agar mengakui bahwa dirinya bersalah melakukan
suatu kejahatan. Padahal untuk mencari bukti bahwa ia bersalah itu adalah pihak
aparat penegak hukum yang dalam hal ini kepolisian atau kejaksaan yang harus
membuktikan kesalahan dari tersangka pidana. Hal ini bisa kita lihat dari
prinsip bahwa melepaskan 10 orang yang bersalah lebih baik dari pada menghukum
seseorang yang tidak bersalah. Karena itu tidaklah pantas bahkan bertentangan
prinsip hukum apabila ada seseorang maupun aparat penegak hukum melakukan
kriminalisasi terhadap tersangka.
Dalam hukum yang berlaku
umum yaitu bahwa tersangka pidana jelas memiliki hak untuk diam terhadap
pertanyaan-pertanyaan dari penyidik ketika memeriksa suatu kasus kejahatan pada
saat proses interograsi pidana oleh penyidik. Sebaliknya, apabila pertanyaan
tersebut diajukan kepada saksi, terdapat kewajiban hukum bagi saksi untuk
menjawabnya, asalkan jawabannya itu tidak berbahaya kepadanya, berbahaya dalam
arti informasi dari jawaban tersebut dapat membantu penyidik untuk mengajukan
proses pidana terhadap saksi yang bersangkutan. Dalam hal ini, pemaksaan
penyidik agar tersangka atau saksi menjawab pertanyaan yang memberatkan diri
tersangka atau saksi tersebut disebut dengan istilah “Kriminalisasi Diri” (Self-incrimination).
Maka
larangan terhadap kriminalisasi diri yang merupakan suatu larangan terhadap
pemaksaan untuk menjadi saksi atau tersangka yang membahayakan atau membawa
konsekuensi hukum terhadap diri saksi atau tersangka tersebut (self-incrimination) memiliki
justifikasi yang cukup valid, yakni penghormatan terhadap harkat dan martabat
saksi atau tersangka itu sendiri. Karena kalau dilihat dari konteks kajian Hak
Asasi Manusia (HAM) secara jelas bahwa dikatakan berfokus kepada kehidupan dan
martabat manusia terutama dalam prinsip dalam perlindungan demi mendapatkan hak
dan keadilan. Bahkan negara serta aparatnya wajib menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia (HAM) yang dalam hal ini tidak dapat dicabut dan diambil, terlebih
secara sewenang-wenang dan setiap hak itu saling terkait dan saling menguatkan.
Dalam
hal ini apabila terjadi suatu kekerasan ataupun penyiksaan yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum ataupun warga sipil kepada tersangka atau saksi. Maka ia
statusnya bisa menjadi korban, dan berhak untuk melakukan pelaporan kepada yang
telah ditentukan berupa mekanisme-mekanisme hukum yang ada baik secara Nasional
ke Negara (Judisial dan Non Judisial) maupun menggunakan
mekanisme Internasional (untuk kampanye dan advokasi kebijakan). Pertama, ada mekanisme Judisial ini bisa melaporkan kepada
Kepolisian lewat mekanisme Pidana (melalui Unit Reserse Kriminal) dan/atau
melalui mekanisme Kode Etik (melalui Propam). Lalu apabila yang melakukan
penyiksaan itu adalah Institusi TNI, maka pelapor harus melaporkan ke POM TNI.
Bisa juga lewat Pengadilan Negeri, yaitu Penggabungan
Perkara, dimana pihak korban atau keluarga korban dapat meminta kepada
Jaksa Penuntut Umum dalam proses persidangan untuk menggabungkan perkara antara
perkara Pidana dan perkara Perdata. Yang dalam hal ini diatur dalam KUHAP Pasal
98 ayat (1). Kedua, ada mekanisme Non Judisial yaitu bisa melaporkan
kepada Komas HAM, Ombudsman RI, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Ketiga, yang terakhir bisa melakukan pelaporan ke Mekanisme Internasional yaitu lewat
Komite Hak Asasi Manusia PBB.
Indonesia adalah negara hukum yang setiap gerak-gerik masyarakatnya diatur oleh undang-undang. Maka apabila masyarakat melanggar aturan yang sudah ada konsekuensinya adalah mendapatkan hukuman. Proses dalam penetapan hukuman terhadap pelaku kejahatan itu juga telah di atur sedemikian rupa di dalam undang-undang kita. Negara yang baik adalah menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia terutama dalam proses penegakan hukum. Keadilan akan diciptakan apabila berjalan di jalur yang sudah disediakan. Negara hukum harus menjamin keadilan dan kepastian hukum karena keadilan bukan disamaratakan tetapi keadilan adalah menempatkan sesuatu pada porsinya.
*Penulis merupakan mahasiswa jurusan Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) UIN SU dan anggota kelompok KKN DR-01 UIN SU 2020